profile gallery cv agenda articles page 1 contact us links

 

 

 

 

 

Titik Utama – Ultimate Point:
Seni Rupa Rintisan Brahma Tirta Sari’s


........................................................................................................

Sebuah karya lain dari kurun ini adalah “Fire”/”Api”, yang hidup, padat dengan gerak, namun dengan arah yang berbeda. Di sini tidak ada suasana kedalaman, atau bahkan ruang tanpa kedalaman, seperti dalam karya terakhir. “Fire”/”Api” adalah potret nyala atau lidah api – yang merupakan unsur api – secara konseptual sekaligus berdasarkan pengamatan realistis pula. Bentuk-bentuk bagai nyala yang gemetar, memercikkan bunga api, menjilat-jilat, melesat-lesat dengan nuansa-nuansa merah, lembayung, oker, dan kuning pada latar coklat dan indigo, semuanya saling kunci sebagai bentuk- bentuk negatif-positif, begitu rupa sehingga tidak tersisa ruang latar belakang yang ‘kosong’. Setiap bagian dari desain dwimatra ini sendiri merupakan pernyataan yang lengkap dan setara, ilustrasi kaidah mikroskosmos dan makrokosmos yang sangat dikenal dalam seni dan falsafah Hindu maupun banyak tradisi seni rupa asli pribumi. Penggarapan permukaan setiap nyala api berbeda: ada wilayah yang ditetapkan dengan perulangan garis konsentris atau garis yang berupa titik-titik, ada pula yang diisi dengan titik-titik besar, sedang atau kecil; ada yang diisi warna-warna konsentris, sedangkan yang lain dengan berbagai nuansa dari warna yang sama. Ada permukaan yang datar, ada pula yang memperlihatkan tanda-tanda retakan lilin. Karya ini memamerkan bagaimana suatu permukaan dapat diberi tekstur dengan metode-metode batik tradisional dengan sedikit sisipan metode yang masih baru dan asing. Sedangkan tentang simbolisme, Ismoyo menjelaskan bahwa dalam bentuk negatifnya api dan warna merah itu mewakili kemudaan, berbagai nafsu, keinginan akan kekayaan, dan kegilaan. Akan tetapi api juga mewakili daya mengonsumsi hal duniawi dan kepentingan materialis yang mengubahnya menjadi daya spiritual yang halus.

Segera setelah mulai belajar bersama mengenai batik dan filsafat, Nia dan Ismoyo juga mulai mengerjakan bersama selembar kain batik. 4 Tak banyak yang mereka atau siapapun ketahui bahwa mereka telah memasuki jalur kehidupan bersama yang kemudian akan membuat Nia menetap di Jawa dan mengarahkan Ismoyo ke dunia luas, keduanya mengeksplorasi suatu cara hidup yang sekaligus lokal dan transnasional – dan merintis suatu idiom seni rupa kontemporer yang akan mendorong definisi-definisi tentangnya melawan pemahaman dominan di institusi-institusi yang semakin menginternasional dan secara kokoh terbaratkan/individualistis/berorientasi konsumen dalam dunia seni rupa kontemporer, di Indonesia maupun dunia.

Tentang kolaborasi, ISNIA menulis pada 2005:

Ketika kami mendirikan sanggar kami tahun 1985, mulailah proses kolaborasi kami. Awalnya, itu seperti berenang-renang, berendam dalam lilin pembatik (malam), menepuk-tepuk dan menciprat-cipratkannya ke lembaran kain yang sama. Semenjak itu kami coba menemukan sumber dan daya di balik motivasi kuat kami untuk berkolaborasi.

Kami belum pernah punya pola tertentu untuk kolaborasi kami; hingga saat ini, pola itu masih sedang dan terus berproses dan selalu berubah-ubah. Terkadang ini dapat melibatkan perselisihan estetis berkepanjangan atau ketakpedulian terhadap suatu gagasan yang muncul mengenai desain atau warna yang terbawa-bawa terus sepanjang serangkaian karya sampai saatnya salah seorang dari kami ‘menangkap’ maksud mitra kerjanya. Ada karya yang kami kerjakan bersama-sama, atau ada kalanya kami saling menimbrung untuk bersama-sama membuat keputusan-keputusan artistik selagi salah seorang sedang bekerja menggarap karya. 5

Tahap 3, Seniman-seniman yang Meluncur di atas kaki artistik mereka sendiri:

Awal tahap ini, yang menurut catatan saya adalah awal 1990an, bertindih dengan akhir tahap 2, belajar dengan bimbingan para Empu Guru. Meskipun mereka mencapai tataran pemahaman tertentu sebelum meluncurkan kesenian mereka ke khalayak dunia, Nia dan Ismoyo tetaplah yang pertama mengatakan bahwa masa pembelajaran filsafat dan spiritual mereka tidak akan pernah berakhir karena merupakan upaya sepanjang hayat. Ismoyo dan Nia menamakan sanggar mereka “Brahma Tirta Sari” dengan mengambil gagasan Hindu-Jawa, yang menempatkan kreativitas sebagai esensi segala pengetahuan. Romo, ayah Ismoyo dan sekaligus guru keduanya serta orang-orang lain yang semakin banyak jumlahnya, mengajarkan bahwa dalam falsafah Jawa manusia diperingkatkan menjadi lima tataran atau jenjang pencapaian spiritual. Romo memandang seniman menempati jenjang kedua dari atas, karena anugerah bakat penglihatan mereka dapat membawa mereka menembus keluar dari dunia ketampakan lahiriah.

Dalam masa ini mereka meneruskan praktik mereka, yang dimulai pada tahap 2, untuk memindah pola-pola tradisional ke dalam warna-warna baru dan konteks-konteks komposisi baru. Dalam setiap era dalam karya ISNIA terjadi kelangsungan gagasan-gagasan dan simbol-simbol tertentu serta penambahan gagasan dan simbol baru. Tema unsur-unsur, terutama api, kelihatannya, terus-menerus menyita perhatian kedua seniman ini, dan masih muncul dalam karya terbaru mereka. “Api” dari 1994 kontras dengan karya enam tahun sebelumnya dengan nyalanya yang berwarna coklat keunguan yang muram dan elegan sampai merah jambu pucat yang tertata dalam pijar yang lebih rapi dan anggun. Sebuah unsur humor permainan kata Jawa dimasukkan ke dalam tema api ini, yaitu pada karya berjudul “Api Bunga Ngawur” (Fire Flower) dari tahun 1994. Penggunaan cap yang diterakan di atas lapisan batik tulis menjadi kentara dalam karya mereka menjelang 1995: Nia dan Ismoyo baru saja mulai memesan cap hasil rancangan mereka sendiri pada pembuat cap batik. “Sekar Jagad” (Bunga Jagad, 1995) memperlihatkan paduan antara bentuk bebas dan simbol batik tradisional. Secara berangsur, sepanjang dasawarsa berikutnya, penggunaan garis-garis utuh, yang mengungkapkan daya kekuatan purbani tertentu, digantikan oleh penggarapan bentuk secara lebih lembut, yang membuat karya memiliki watak lebih bening dan jernih, seperti penglihatan dalam air atau mengawang di langit. Karya-karya yang sangat indah seperti “Sekar Jagad” (yang sudah disebut di atas), “Beras Wutah” (Beras Tumpah Terserak) “Dhandang Gula” (Kapak dari Gula, juga nama jenis tembang Jawa) diilhami oleh benda-benda yang membumi dan organis.

Dua karya ciptaan tahun 1985 dan 1992, yang sama-sama berjudul “Pamor”, mengacu pada suatu sumber tema lain yang menyita perhatian kedua seniman dalam rentang waktu yang panjang. Pamor mengacu pada pola-pola yang muncul dari penempaan berulang-ulang berbagai jenis logam, konon termasuk batu meteor. Itu semua adalah bahan pembuat keris Jawa yang semula digunakan oleh bangsawan dan dipercaya memiliki daya gaib. Dengan demikian judul tersebut mengacu kepada proses transformasi alkemis yang menghasilkan tanda-tanda yang diberdayakan. Laporan Ma Huan tahun 1416 M dari ekspedisi kekaisaran Cina ke Jawa ada menyebut-sebut keris indah ini beserta pola-pola pada bilahnya. Paku Alam VIII, Adipati di Yogyakarta, memiliki buku yang berisi daftar 40 jenis pola pamor berikut maknanya masing-masing. 6

Bentuk-bentuk persegi panjang yang lebar dan tak beraturan di kedua lukisan batik dengan judul ini — yang awal terutama dalam aneka nuansa cokelat, yang belakangan dalam aneka biru – dibuat dengan gabungan teknik pewarnaan celup-halang Jawa dan Afrika, dengan kata lain: menggunakan pewarnaan celup dengan penghambat lilin (malam) maupun pewarnaan celup dengan penghambatan lipat-dan-kerut.

Mulai meluncurnya ISNIA dengan bertumpu pada kekuatan artistik mereka sendiri adalah masa perjuangan keras bagi kedua seniman ini: mereka berjuang untuk menemukan kiat agar secara keuangan dapat melanjutkan mengerjakan kesenian mereka. Upaya yang terus mereka lakukan untuk menjadi lebih jelas tentang metodologi penelitian dan penciptaan seni mereka sendiri pun sulit, karena tidak ada contoh yang dapat mereka tengok entah di dunia seni rupa Indonesia kontemporer maupun di jagad batik tradisional, dan tanpa pengakuan maupun pengayom bagi mereka di kedua dunia tersebut. Bagi inovator, tahap meluncur di atas kaki sendiri seringkali berarti perjalanan sepi-sendiri yang heroik untuk waktu yang entah berapa panjang; bagi ISNIA, ini berarti kurun waktu tujuh tahun sejak mereka mengerjakan karya secara kolaborasi hingga saat mereka mulai menerima undangan berpameran dari mana-mana.

Tahap 4, Menemukan Sekutu dan Komunitas – awal hubungan dan penerimaan:

Selain meneruskan bekerja sesuai dengan yang telah mereka gariskan sejak tahun 1985, suatu unsur baru dalam praktik kolaborasi mereka muncul di tahun 1994, yaitu kolaborasi lintas-batas yang bercorak antar-etnis, antar-pribumi. Sejak 1994, tetapi persiapannya dan pembinaan hubungan awalnya sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya, Nia dan Ismoyo membuka penelitian mereka tentang makna simbolis, pembuatan karya seni tradisional dan versi seni rupa kontemporer tentangnya dalam konteks baru, bagi kolaborasi dengan beberapa kelompok pribumi setempat di seluruh dunia. Ini membawa mereka keluar dari Jawa ke tiga benua: Australia, Amerika, and Afrika. Jalur-jalur baru ini merupakan lingkaran perputaran kembali ke ihwal-ihwal dan komunitas-komunitas lama, yang beberapa di antaranya masih bersentuhan dengan modalitas lama untuk hidup di alam dan melestarikan yang spiritual melalui tempat-tempat dan ciri-ciri geografis sakral.

Pada 1994, Nia dan Ismoyo menerima sekelompok perupa perempuan Anmatyerr Aboriginal dari komunitas Utopia Urapuntja di Australia Tengah yang datang untuk berlokakorya selama sepekan di sanggar Brahma Tirta Sari di Yogyakarta. Dengan itu dimulailah suatu proses tukar-menukar gagasan, motif, makna dan pendekatan antara perempuan aboriginal Australia, yang kelompok usahanya telah memproduksi batik sejak 1977, dan pasangan seniman Jawa-Amerika ini. Lebih jelasnya, Nia dan Ismoyo diminta mengajari perempuan-perempuan Utopia itu menggunakan teknik pengecapan pola-pola lilin cetak menggunakan blok-blok logam. Sebaliknya, dari para perempuan aboriginal Utopia itu mereka berdua mempelajari cara yang sama sekali baru untuk menggarap kain : “Ketika para seniman Aboriginal ini membatik, mereka memulainya dari satu ujung, tanpa desain awal maupun skets, dan itu mereka kerjakan terus sampai ke ujung lain. Cara membatik yang tidak lazim inilah yang begitu menarik kami.” Dengan pengalaman ini keduanya dapat langsung melihat dan mengerti bagaimana tradisi kearifan yang berbeda-beda menawarkan metode yang berlainan pula untuk mencapai pengertian yang esensial. Ismoyo dan Nia juga belajar tentang hubungan istimewa dan mendalam antara tanah, manusia dan roh, dan memperoleh pemahaman tentang suatu bahasa simbolis baru dan sehimpun mitos baru:

Motif-motif batik yang unik dalam karya seni rupa komunitas Utopia berasal dari upacara-upacara perempuan yang mengungkapkan dialog sakral dengan nenek moyang. Dialog spiritual ini berasal dari dimensi yang dikenal sebagai Altyterr, yang di masa sekarang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘Dreaming’. Motif-motif yang digunakan para seniman perempuan ini bersumber pada hukum-hukum Dreaming (Mimpi) itu. Para seniman itu terilhami dan dituntun oleh sumber tersebut meskipun tidak semua desain mereka dapat dipandang sakral. Proses kreatif ini timbul dari hubungan dengan nenek moyang yang mengejawantahkan tuntunan mereka melalui berbagai energi bumi. Energi-energi itu mewadag dalam upacara-upacara yang terkadang menggunakan lukisan-lukisan pasir dari tanah yang diwarna dan bahan-bahan lain. Dalam ritual-ritual ini, para perempuan Utopia itu menghias tubuh mereka dengan desain-desain sakral dan menyanyikan madah-madah nenek moyang. 7

Sedangkan di pihak para perempuan Utopia, yang sudah menjadi sangat sulit menemukan alasan untuk memercayai orang luar dalam satu setengah abad terakhir ini, berkembang wawasan tentang apa yang mereka pandang sebagai pijakan bersama antara simbol artistik mereka dan falsafah Jawa tentang simbol artistik sebagai sarana penyampaian ajaran yang esensial tentang kehidupan. Gloria Angal, salah seorang seniman perempuan Utopia itu, berkata: “Cap mereka mempunyai Hukum, dan mereka punya Hukum, seperti orang Aboriginal pun punya Hukum.” 8  Seperti akan kita lihat, pernyataan demikian bukan sekadar syair elok oleh bangsa “kurang berpendidikan” atau “primitif”, melainkan wawasan mendalam yang terbentuk dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang sudah hilang dari, dan dinafikan oleh, dunia maju yang lalu harus membayar penafian itu dengan teramat mahal.

Tahun-tahun ketika ISNIA kurang tampak tampil dalam pameran-pameran yang diselenggarakan oleh para kurator seni rupa Indonesia modern-kontemporer menunjukkan bahwa para kurator itu menggolongkan mereka berdua sebagai ‘perajin’ atau ‘tukang’ yang membuat ‘barang kerajinan’, dan bukan seniman perupa kontemporer. Ini tampak jelas dalam riwayat ringkas kiprah ISNIA selama ini. 9 Pengakuan bahwa mereka memberikan sumbangsih kepada wacana maupun sejarah seni rupa Indonesia modern-kontemporer datang pertama kali dari luar negeri, terutama Australia. 10 Sejauh ini, sebagian besar pameran mereka hingga beberapa waktu di sekitar ambang abad kedua puluh satu berlangsung di luar Indonesia atau di ruang-ruang kedutaan negara sahabat di Jakarta. 11

Sementara itu, Agus Ismoyo dan Nia Fliam meneruskan kedua modus berkarya yang telah mereka kembangkan sejak awal kemitraan mereka: (i) produksi kerajinan berupa sarung, selendang, dan tas, dan (ii) karya-karya seni murni yang semakin monumental. 12 Dan untuk menyediakan jalan agar khalayak dapat melihat karya-karya yang disebut terakhir itu, pada 1992 mereka membuka galeri di Ubud, kota kecil yang merupakan pasar lukisan terpenting di Bali, bernama Argasoka Gallery di Jalan Monkey Forest— kini namanya diubah menjadi Brahma Tirta Sari di Argasoka (Brahma Tirta Sari at Argasoka). Kemudian, dengan perluasan rumah dan sekaligus sanggar mereka di timur Kota Gede, Yogyakarta, mereka membuka Rumah Budaya Babaran Segaragunung pada 2005 sebagai bagian dari kompleks sanggar mereka itu.

Tertundanya pengakuan atas ISNIA sebagai seniman kontemporer di Indonesia, negeri mereka sendiri, memberikan gambaran yang jelas tentang, sekurang-kurangnya, betapa para kurator seni rupa dan sejarawan seni rupa berdarah Eropa sudah kurang terbelenggu oleh definisi masa kolonial tentang apa dan bagaimana media, proses dan kerja ‘seni murni’ yang sepatutnya, ketimbang establismen seni rupa modern di Indonesia pascakolonial, yang dalam memodernkan diri dan membangun identitasnya bergulat antara kebutuhan mendefinisikan diri sehubungan dengan sejarahnya sendiri dan masa kini yang terbentuk secara historis. Wajarlah kalau dorongan kompetitif itu, untuk membuktikan diri mereka ‘setara’ dalam perkara-perkara modern, melecut upaya establismen seni rupa Indonesia untuk menyatakan kehadiran mereka dalam bentuk-bentuk seni yang paling diterima dan tinggi statusnya seperti didefinisikan seabad yang lalu atau bahkan sebelumnya oleh penjajah – dalam hal ini Belanda.

Selama tiga tahun – dari 1998 sampai dengan 2000 – dengan satu perkecualian, 13 ISNIA berpameran hanya di luar negeri. Barulah pada 2001 – enam belas tahun setelah awal kerjasama mereka, delapan tahun sesudah mulai menggelar pameran internasional, dan dua tahun setelah peluncuran internasional mereka yang paling terpandang pada Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (Trienal Seni Rupa Kontemporer Asia-Pasifik) di Australia, barulah ISNIA diundang menggelar pameran ‘modern-kontemporer’ spesifik di Museum Nasional Indonesia.

Pada September 1999, Ismoyo dan Nia diundang untuk mempresentasikan karya-karya kolaboratif baru untuk Trienal Asia Pasifik Ketiga di Brisbane, Australia; karya-karya itu mereka ciptakan bersama delapan seniman batik dari Australian Central Desert community of Utopia.  Penyajian internasional karya mereka ini – dalam peristiwa yang paling terpandang, dan dengan katalog yang katalog yang istimewa bagus – menyiapkan panggung bagi tahap berikut dalam perjalanan kesenian mereka.

Tahap 5, Giat dalam Modalitas Penuh: modus itu di sini sudah matang dan masih bertumbuh terus, di dalam negeri maupun di dunia.

Pameran tunggal ISNIA sebagai pasangan perupa kontemporer – pameran penting mereka yang pertama di Indonesia – terjadi tahun 2001. Meskipun pameran ini baru terjadi setelah sekian lama, terjadinya begitu rupa sehingga tiba-tiba melontarkan mereka tepat ke pusat jagad seni rupa Indonesia modern. Pameran “Segaragunung” bukan sekadar pameran tunggal; pameran itu diadakan di Museum Nasional di Jakarta.

Tidaklah mengagetkan, karena sering tampil dan terpandang di dalam maupun luar negeri sejak 2001, ISNIA telah diundang berperanserta dalam pameran seni rupa kontemporer di Jakarta, ibukota negara, dan Yogyakarta yang adalah pusat kesenian di Jawa. Kini, ISNIA sudah memperoleh tempat mantap di kalangan perupa modern-kontemporer Yogyakarta, memamerkan karya mereka dalam pameran kelompok rutin tahunan maupun hajatan khusus. Pada 2002, mereka ikut dalam “Traces of Tradition in Contemporary Art” (Jejak Tradisi dalam Seni Rupa Kontemporer) di Yogyakarta; tahun 2003 dan 2005, keduanya ambil bagian dalam Yogyakarta Biennial.

Pada peralihan milenium, Nia dan Ismoyo mulai membuat jenis karya yang lain. Ini menandai arah yang berbeda dengan karya batik murni yang telah membuat mereka dikenal. Pada 1998, Nia merasa bahwa ia ingin mengembangkan arah baru dalam karya kolaborasi mereka. Ia ingin terhubung kembali dengan karya awal yang ditekuninya semasa mahasiswa, dan Nia – yang menjadi makin peka terhadap nilai tradisi selama bermukim di Jawa, dan bagian dari nilai tradisi itu adalah penghormatan kepada leluhur –juga merasa perlu terhubung kembali dengan akar keluarga Amerikanya dalam ekspresi estetisnya. “Seluruh keluarga ibu saya adalah pembuat quilt dan kerja saya di tekstil berawal dengan membuat quilt,” ujarnya. 14 Dialog artistik dengan seniman tekstil ternama Australia, Elsje King, ikut menyumbang bagi terwujudnya bentuk baru karya BTS ini. Senimannya menyebut bentuk karya ini aplikasi-balik tetapi pembuatannya juga menggunakan banyak teknik lain. Dengan menggunakan potongan-potongan batik BTS yang dipandang gagal sebagai kain utuh, Ismoyo dan Nia memilih serpih-serpih yang terbaik dan melubanginya, mempertautkan serpih-serpih itu, menjelujur permukaan kain, dan membuat aplikasi (tambalan) balik. Maka terciptalah kain yang tampak organik dan tak lagi rata melainkan bertumpang-tindih dan berserabut di sana-sini seperti bulu hewan atau burung, menggapai ke tiga dimensi. Satu segi lain yang membedakan karya yang padat dan kaya ini dengan batik adalah bahwa karya ini, seperti mata uang, bersisi dua, memperlihatkan dua ‘wajah’ yang berbeda kepada dunia, yang tersatukan sebagai karya tunggal.

Karya-karya awal mereka ialah “Ceplok I“ 15 dan “Jiwa”.”Karya-karya sesudahnya menggunakan judul seperti “Illusion” dan “Pohon Hayati” (2004) dan “Beras Wutah” (2004) serta “Father Sky Mother Earth” (2005). Bentuk karya dan metode pembuatannya sudah tidak mengikuti tradisi batik Jawa, tetapi ihwal yang dipersoalkan sama. Sementara itu, saat-saat yang ringan dan santai menyeling jejaring filosofis yang berat, seperti tampak pada karya “Our Son” (2004) yang genit, cerah ceria dan lucu; saat-saat perayaan dan syukuran keluarga terekam dalam “Keluarga Besar” (2004).

Kedua perupa ini terus mengembangkan kesempatan untuk bekerja secara kolaborasi tak hanya di sanggar BTS, menciptakan serangkaian kerja kolaborasi dengan pemuda dari suatu desa di Gunung Lawu dan dengan desa batik Giriloyo pada 2005. Mereka juga mengeksplorasi medan-medan baru di luar Jawa. Bulan Desember 2005, Ismoyo dan Nia melanglang jauh ke Afrika untuk berkarya bahu-membahu dengan para seniman batik dari Mali dan Nigeria, sehingga lengkaplah lingkaran perjalanan Nia yang bertolak dari minat awalnya semasa mahasiswa dulu. Lambang bagi kolaborasi antara seniman pribumi asli dan modern dari tiga negara ini ialah motif “Tiga Negeri” dari batik Jawa tradisional, yang memperlihatkan tiga helai daun indah yang bertunas dari satu sulur melengkung yang sama. Seperti yang selalu diperbuatnya, Nia menuliskan perenungannya dan Ismoyo selama dan setelah menempuh pengalaman mereka.

Lewat Kolaborasi Kita Menggapai Keluar dari
Diri Sendiri ke Alam

Bumi kita subur semarak di tangan para petani yang penuh cinta. Hidup karena hasil bumi dan kecintaan petani yang merawat dan mengolah tanah sebagai mata pencariannya, kita sejahtera berkat kerja keras dalam cinta ini. Dalam usaha kita untuk menguasai lingkungan, kita acapkali kehilangan pertautan semacam itu dengan bumi dan ranah yang tak kasatmata, yang mengungkapkan diri secara ajaib dan memesona lewat proses penciptaan yang tak berkesudahan. Ritual, dalam budaya agraris, yang merupakan sarana untuk mengungkapkan terima kasih dan syukur kepada bumi dan yang tak kasatmata, kini boleh dikata tidak relevan lagi dalam kehidupan kita yang sudah menjadi urban. Hubungan dengan bumi dan ritual, yang dilestarikan oleh budaya-budaya awal kita, sudah lenyap dan sebagai akibatnya banyak orang lupa caranya membaca alam. Di Jawa masa silam, tiap rumahtangga menyediakan tempat khusus untuk Dewi Sri, dewi padi. Tempat terhormat bagi dewi kesuburan ini terus-menerus mengingatkan bahwa seluruh hidup dan keberadaan manusia bertumpu pada hasil bumi. Tindakan sederhana mempertautkan diri dengan bumi ini merupakan sarana untuk menyatakan bahwa manusia harus membangkitkan kesadaran mereka tentang rentannya kehidupan dan terus-menerus menghubungkan diri dengan masyarakat dan dengan bumi. Barangkali format tindakan seperti itu sudah berubah di masa kita sekarang ini. Dalam proses kreatif, kita mencoba melibatkan diri dan berusaha menciptakan keselarasan melalui kerjasama tak hanya antara satu orang dan orang lain melainkan juga kerjasama dengan bumi dan jagad irasional. Pengenalan dan pengakuan akan keterkaitan kita dengan sesuatu di luar diri kita sendiri ini memberdayakan dan melestarikan. 16

Kini, ISNIA dengan yakin berpijak pada dua ranah kesenian, sebagaimana media dan karya mereka pun demikian: mereka menggelar karya dalam pameran seni rupa modern-kontemporer maupun dalam pameran kerajinan, meskipun penekanan atas dua kategori itu kira-kira seimbang di dalam negeri, sedang di luar negeri penekanan tetap diletakkan pada kategori ‘seni rupa murni’. Di Australia, mereka sudah tenar di lingkungan kesenian yang semakin meluas di kalangan komunitas aboriginal maupun komunitas ‘budaya pendatang’ selama lebih dari satu dasawarsa ini; keduanya telah berkunjung ke Amerika Utara sejak tahun 2000 dan memamerkan karya mereka, dan mereka telah menjalin hubungan dengan rekan-rekan pembatik di Afrika.

Titik-titik Penutup pada Tulisan ini
Analisis estetik formalis saja tidak akan melihat dan menyentuh begitu banyak kekayaan dalam seni, terutama sekali sintesis yang terjadi antara tradisi-tradisi yang secara dramatis berbeda. Dalam karya seni ISNIA, dunia tekstil dimunculkan dan dikawinkan dengan dunia seni lukis, Seni Tinggi yang paling dielu-elukan dalam disiplin sejarah seni rupa yang berasal dari Eropa. Dalam disiplin ini, seni tekstil secara mencolok tidak dihadirkan. Sementara itu, seorang pembelajar seni rupa Asia Tenggara yang dapat menahan penggunaan definisi-definisi Eropa-sentris untuk menganalisis apa yang oleh budaya-budaya tertentu mungkin dipilih sebagai bentuk seni tertinggi dan terpenting, cepat menemukan bahwa setelah drama-tari yang multi-media itu, tekstil berkedudukan sangat tinggi di antara bentuk-bentuk seni paling penting itu. Banyak contohnya, mulai dari kain ikat suku Iban di Kalimantan, sampai tenun Lampung, Sumatra, dan batik Jawa, di mana tekstil menciptakan ikatan sosial, membentuk kerekatan sosial, diperlukan untuk ritual pertanian, daur kehidupan, dan perjalanan arwah, dan secara umum dipandang mempertautkan keindahan dan kekuasaan sebagai benda-benda transformatif dalam ritual. Dalam jejaring gagasan ini, kreativitas individual dan kolektif, alih-alih saling eksklusif, dipandang berhubungan – sebagai bagian dari sebuah kontinum.

Jalur penyeberangan atau jembatan yang sekarang sedang dibangun antara kearifan pribumi setempat dan wawasan ilmiah Barat ada banyak dan hebat-hebat. Paradigma yang secara bertahap berkuasa di Barat dan kemudian mengkolonisasi sebagian besar dunia mempertentangkan etika individualis dengan pandangan yang lebih komunal (atau yang mengakomodasi keduanya), dan dunia materi terpisah dari dunia jiwa atau spirit. Konsep-konsep demikian sekarang mulai runtuh dan digantikan oleh sekuen-sekuen Fibonacci yang bagai mosaik dan dimainkan dalam media dan dimensi jamak, membebaskan pikiran analitis Barat, mengembalikan padanya ‘alat-alat’ yang lebih banyak daripada yang boleh digunakannya selama tiga ratus tahun terakhir ini.

David Abram menulis: “Kemiripan antara pandangan dunia seperti itu [komunikatif-dengan-alam, animis, asli-pribumi] dan perspektif ekologi kontemporer yang muncul tidaklah sepele. Pakar geokimia atmosfir James Lovelock, yang menjelaskan hipotesis Gaia, bersikukuh bahwa lingkungan geologis sendiri terdiri atas kehidupan organis dan berkat hasil metabolisme organis. Dalam ungkapan James Lovelock, kita menghuni “suatu dunia yang adalah nafas dan tulang-belulang nenek moyang kita.” 17

Berbicara tentang bingkai intelektual, ‘keranjang-keranjang’ tempat berlangsungnya pemikiran tentang wilayah atau bidang apapun, Albert Einstein dikutip sebagai mengatakan sesuatu yang dapat berlaku sama untuk falsafah Jawa: “Buddhisme memiliki ciri-ciri dari apa yang dapat diharapkan dalam suatu religi kosmis bagi masa depan: ia menerobos hingga melampaui suatu tuhan personal, menghindari dogma dan teologi; ia mencakup yang alami maupun yang spiritual, dan didasarkan atas kesadaran religius yang bangkit membubung dari pengalaman akan segala sesuatu, yang alami dan yang spiritual, sebagai suatu keutuhan yang bermakna.” 18  Keutuhan akhirnya menyangkal fragmentasi pada segala tataran. Karya seni ciptaan seniman seperti Agus Ismoyo, Nia Fliam dan seniman lain yang berkolaborasi dengan mereka dapat berfungsi sebagai gerbang-gerbang estetis menuju jalan-jalan kearifan yang ditemukan dalam perjalanan hidup di dunia.

Saya akhiri esai ini dengan kata-kata Agung Harjuno, kakak Ismoyo yang dihormatinya.

Segaragunung tidak dapat ditulis sebagai dua kata terpisah. Samudra dan gunung bukanlah unsur-unsur yang bertentangan melainkan ada sebagai suatu pasangan piramida yang serempak dan tak terceraikan. Gunung adalah piramida yang puncaknya melalui dunia modern menusuk Segaragunung dan tembus ke dimensi-dimensi masa depan. Samudra (segara) adalah piramida yang menghunjamkan puncaknya yang terbalik menyelam di kedalaman tradisi. Kedua piramida ini bertitik temu sepanjang garis seraut wajah halus di mana secara sangat nyaris keduanya mencapai satu titik yang sama dan lebur berbaur. Garis itu adalah dimensi kekinian tempat kita membuat benda-benda untuk hidup dan memberikan arti kepada kehidupan. Atau dengan kata lain segaragunung ialah yin dan yang, lingga dan yoni. Ia melambangkan keutuh-seluruhan eksistensi dalam kehidupan. Inilah pertautan kita dengan diri, semesta dan Sang Pencipta. 19

Agus Ismoyo dan Nia Fliam, dengan seni kolaboratif mereka, penelitian mereka, dan pengajaran mereka, merupakan arketipe atau simbol psiko-sosial peleburan laki-laki dan perempuan, Jawa dan bukan-Jawa, antara yang diasuh secara lebih tradisional dan yang diasuh secara lebih modern, yang dipersatukan dalam seni rupa kontemporer sebagai idiom kolaboratif dan cara hidup. Mungkin sudah saatnya Judy Chicago menyediakan tempat di mejanya untuk menambahkan satu jenis penataan lagi: untuk pasangan seniman Ibu-Ayah / Yab-Yum / Linga-Yoni / Ardhanarishvara, seperti ISNIA ini, yang dalam tindakan maupun perenungan menghayati kesatuan yang lebih luas dalam representasi gunung-yang-bertemu/melebur-dengan-laut – yang tersampaikan kepada kita lewat sungai sutera yang mengalir hasil ciptaan kolektif mereka, yang menyelimuti bumi, menciptakan jalur-jalur dan tangga-tangga lembut untuk dirambah kaki-kaki jiwa kita menuju dan mendaki serta sepanjang jejaring benang emas yang mempersatukan kita semua.

Dr. Astri Wright
Guru Besar Seni Rupa Asia Tenggara
Ahli Seni rupa Indonesia Modern
University of Victoria, British Columbia, Canada.

Astri Wright adalah seorang gipsi global, ilmuwan dan pembuat kreasi yang mempunyai akar-akar tanah seperti pohon ek di tiga benua dan akar-akar gantungan seperti pohon beringin yang melebar di atas bagian-bagian Asia. Dia menghidupkan keluarganya dengan cara menguraikan dan mengembangkan ide-ide tentang sejarah seni Asia Tenggara, menggabungkan segi-segi pribumi bersama dengan seni modern-kontemporer. Sumbangan risetnya yang paling menonjol adalah pengenalan studi kasus-kasus dan keprihatinan dari seniman modern dan kontemporer di Indonesia kepada dunia seni internasional.

 

 

Detail Gandrung / Smitten, 2005

Detail Kain Doa / Prayer Cloth, 2004

Beras Wutah / Scattering the Rice Seeds, 1995

Dhandang Gula, 1995

Pohon Hayati IV / Tree of Life IV, front, 2005

Pohon Hayati IV / Tree of Life IV, back, 2005


Putra Kami / Our Son, front, 2003


Traschan of Tradition II / Tong Sampah Tradisi II, 2005

Pohon Hayati IV / Tree of Life IV, back, 2005


Dialog, 2006 (detail),



Experiment I, 2001
200 X 105 cm, batik on cotton
Pemuda Lawu / Youth of Lawu



Jejak-jejak di Pasir / Traces in the Sand, 2005
145 X 65 cm, batik and bogolan on silk, collaboration with Agus Ismoyo, Nia Fliam, Kasabone artists, Yemesi Ajaya, Baba Sangodare Ajala



 

n