profile gallery cv agenda articles page 1 contact us links

 

 

 

 

Batik, Kolaborasi, dan Pertukaran Budaya:
Satu Tahun Eksplorasi Artistik

“Masalah teknis seniman ialah bagaimana mentransformasikan kembali materi yang digunakannya sebagai media menjadi ranah jiwa.”

—Hans Hoffman, The Search for the Real in the Visual Arts

The Gwen Frostic School of Art sangat beruntung memperoleh Fulbright Scholar-in-Residence fellowship — sebuah program baru Fulbright, yang memungkinkan Nia Fliam dan Agus Ismoyo, dari Yogyakarta, Jawa, Indonesia, tinggal sementara di Kalamazoo, Michigan, AS, selaku seniman residensi Fulbright kami untuk tahun akademis 2007-2008. Seni rupa yang mereka ajarkan di sini adalah kesenian yang sudah sangat panjang usianya, yaitu batik. Kesenian ini, yang menggunakan teknik penghambatan warna dengan lilin (malam), memperoleh nama modernnya dari suatu bahasa yang digunakan di tempat yang paling dekat kaitannya dengan kesenian itu: pulau Jawa – suatu tempat dengan budaya yang sangat kuno dan tanah tumpah darah manusia purba yang sangat awal. 1 Keantikan pulau indah ini, yang berkedudukan di kepulauan tropis yang bernama Indonesia di masa modern, menerang-jelaskan kedalaman watak praktik kesenian ini. (Indonesia adalah negeri dengan penduduk terpadat keempat di dunia dan kini merupakan negeri berpenduduk Islam terbanyak di dunia.)

Tentu, para mahasiswa kami dan warga masyarakat Kalamazoo dapat saja mempelajari ketrampilan-ketrampilan teknis dasar batik dari seniman Amerika. Tetapi apa yang dibawa Nia dan Ismoyo bagi masyarakat kami ialah sensibilitas mereka, yang berdasarkan penelitian mendalam, betapa seni rupa Jawa yang kuno ini merupakan “ranah jiwa”. Orang mungkin dapat memperoleh ketrampilan teknis dalam menggunakan lilin (malam) dan pewarna celup dengan latihan lahiriah, tetapi batik adalah juga disiplin pendayagunaan sumber yang berupa kekuatan inti diri yang unik untuk mengungkapkan secara visual apa yang dimengerti seseorang pada tataran terdalam batinnya. Sensibilitas inilah yang menjadi landasan virtuositas artistik pasangan suami-istri Indonesia ini. Kami, warga Amerika, yang hidup dalam masyarakat yang jauh lebih muda, dapat belajar banyak dari seniman-seniman yang menghormati dan berupaya melestarikan literasi visual yang sekurang-kurangnya berasal dari milenium pertama Masehi tetapi masih tetap kontemporer untuk zaman para seniman ini sendiri.

Pola merupakan bahasa “tradisional” seni batik. Di Jawa, prasasti-prasasti bertitimangsa abad ke delapan dan ke sembilan mencatat tekstil-tekstil – yang dipersembahkan dan dihadiahkan kepada dan dari orang-orang berstatus tinggi – yang diberi nama berdasarkan motif-motif utamanya. Selain itu, pernyataan pajak dari masa yang sama menguraikan penjualan dan impor lilin lebah (malam) kualitas tinggi dan getah-getah pohon yang penting-penting – unsur-unsur yang diperlukan untuk seni batik. 2 Bentuk seni ini menuntut literasi visual yang sangat canggih; pola motif-motif tertentu menyampaikan makna-makna pelik dan rumit – yang seringkali berlapis-lapis karena penggabungan berbagai motif.

Tekstil telah memegang kendali sebagai estetika dominan di Indonesia selama berabad-abad dan masih terus berperan penting dalam berbagai upacara di kepulauan itu. Kekuatan tekstil ritual antara lain dipandang terletak dalam kaitan kreatif antara pembuatan kain dan simbolisme yang dilekatkan pada benang-benang vertikal dan benang-benang horisontal yang dijalinkan menyatu. Selain itu, terkandung daya-daya khusus tertentu dalam unsur-unsur simbolisnya, dalam motif-motif yang ditenunkan pada kain atau diterakan dengan pewarnaan celup. Fungsi aneka tekstil ritual berbeda-beda seturut adat setempat, tetapi tekstil terutama digunakan untuk membungkus, menutupi, atau mewadahi benda suci atau orang/orang-orang terpenting dalam suatu ritual – mengamankan dan membatasi ruang sakral, atau menetapkan batas-batas kekuatan ritual. 3

Kini, Indonesia adalah negara modern yang sangat banyak terlibat di gelanggang seni rupa global kontemporer. Akan tetapi Indonesia, dan terutama Jawa, masih merupakan tempat bagi kain berpola. Batik penting untuk banyak kelompok etnik yang hidup di Indonesia bagian barat – terutama untuk berbagai keperluan upacara. Akan tetapi meskipun kita dapat melihat kepadatan dan keriuhan pola di jalan-jalan di Jawa Tengah sekarang ini, sedikit saja orang yang peduli pada makna motif batik yang hanya jelas bagi sejarawan dan seniman yang berurusan dengan hal-hal demikian. 4 Padahal pola adalah batik dan batik adalah pola, dan perkawinan keduanya merupakan esensi masyarakat Jawa. Digambar dengan canting atau “dicetakkan” dengan cap (semacam stempel besar) yang terbuat dari tembaga dan menggunakan malam yang dipanaskan dan resin/damar sebagai penghalang warna, bentuk seni kuno ini masih terus memikat orang asing dan warga setempat.

Maka, untung besarlah bahwa Nia dan Ismoyo dapat datang ke Kalmazoo tahun ini. Mereka akan mengajarkan banyak pelajaran yang dibutuhkan dalam proses seni batik yang aktual, kepada para mahasiswa kami dan warga lain dalam masyarakat, tetapi mereka berdua juga akan menyampaikan pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya yang dapat diserap oleh seniman dari segala media maupun pecinta seni. Mereka akan mengajarkan nilai penemuan inti batin seseorang, pusaka warisan budaya seseorang, dan analisis pribadi seseorang atas faktor-faktor itu untuk mencapai individualitas artistik - yang seperti DNA seseorang, sepenuhnya unik. Ajaran-ajaran itu mereka dasarkan pada pencarian dan penelitian mendalam mereka akan pusaka kesenian Jawa dan nilai serta suara batin mereka sendiri.

Dalam karya seni mereka, Nia dan Ismoyo membongkar dan melapis-lapiskan aneka pola dengan cara-cara yang baru dan mengejutkan, yang juga menuntut mereka bekerja dalam momen kekinian dan tanggap terhadap mitra kerja. 5 Orang mungkin saja melayangkan kerlingan sayu dan tumpul ke karya ini dan menyimpulkan dengan ringkas “semuanya sama saja” – pola yang ditumpuki pola – lembaran panjang karya tekstil “dekoratif”. Tetapi itu adalah pandangan dangkal yang menyedihkan dari seseorang yang tidak mengamati secara dekat dan cermat serta melihat apa yang sungguh-sungguh tersaji: jejaring rumit data visual yang pelik yang membawa orang ke dalam, dan menembus keluar permukaan. Misalnya, karya tahun 1998 berjudul Romo Kehilangan Betara Asih mengingatkan pada epik kuno Ramayana yang masih terus populer di seluruh Asia Tenggara. Bercerita tentang cinta dan kehilangan, epik ini juga digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai, mengomentari peristiwa-peristiwa hangat, dan menjelaskan pengalaman manusia melalui kisah Pangeran Rama dan kekasihnya Sita. 6 Perkembangbiakan dan penyebaran pesat motif kawung, yang dipolakan memanjang dan melebar pada sutra ini dengan ukuran berbeda-beda – dibatik dengan tangan dan dicetakkan dengan cap – dapat dibaca oleh mereka yang akrab dengan berbagai mitologi di seputar simbol ini sebagai mantra lirih namun tak putus-putus tentang cinta dan kehilangan. Lapisan-lapisan warna dan motif ini mendenyut-denyut, memudar, dan muncul dengan cara yang tampaknya acak, sampai kita melangkah undur dan melihat betapa warna gelap dan terang itu memetakan semacam meta-motif kawung.

Kawung, suatu motif stilisasi bunga dengan empat bagian berupa bulatan, sering digambarkan sebagai motif bunga aren — yang berasal dari kata yang sama dalam bahasa Jawa Juno (Kawi). Pada abad kesembilan, kata itu merujuk pada bunga ini maupun suatu pola kain. 7 Meskipun dalam folklor dan adat akhir-akhir ini motif ini menjadi majas untuk perkawinan, simbolisme yang lebih tua memuat meta-simbologi yoni-pitha (tempat kedudukan Dewi; asal-muasal segala sesuatu). 8 Energi perempuan, yakni Sakti, yang berasal dari Hinduisme India, diasimilasikan ke dalam khasanah adat dan pengetahuan Jawa.

Mitologi Sakti dari India ‘abad pertengahan’ memuat asosiasi tekstual paling awal motif ini pada bunga pinang. Sati, permaisuri Siwa, dewa perusak dan regenerasi dalam paham Hindu, bunuh diri setelah ayahnya menistakan sang suami. Kesedihan Siwa atas kematian istrinya begitu besar –sampai-sampai ia menggendong jasad istrinya selagi mengembara di langit – menyebabkan terjadinya banyak kerusakan dan kekacauan, hingga Wisnu, dewa pengayom, mencincang jasadnya untuk mengakhiri drama yang dahsyat mengerikan itu. Lima puluh satu bagian jasad yang tercacah-cacah itu jatuh ke bumi, dan setiap tempat di bumi yang tertimpa serpih itu menjadi kuil yang disebut pitha, tempat persemayaman sang dewi. Tempat jatuhnya yoni (kelamin) dewi itu dipandang sebagai “pusat daya hidup kekuatannya.” Penceritaan-ulang Jawa untuk kisah ini memadukan hal-hal dan kepentingan setempat. Permaisuri Siwa menjadi dewi padi, kesuburan, dan kerja menenun kain. Ketika ia wafat, segala macam tumbuhan yang bermanfaat muncul bertunas dari jasadnya. Pinang tumbuh dari kelaminnya dan tulang-tulangnya menjadi torak perkakas tenun yang pertama. 9 Kisahan-kisahan bergaya lokal secara khas mengaitkan pembuatan tekstil dan kesuburan dengan kekuatan sang dewi yang tak terungguli untuk menghasilkan keturunan. Lambang yang menandai ajaran ini ialah bunga pinang yang digayakan sebagai motif kawung. 10

Penggunaan motif kawung di abad-abad berikutnya lalu menjadi melambangkan kemewahan dan keagungan raja serta kesakralan desain yang sangat kuat ini. Para guru Jawa menafsirkan motif ini – yang ditemukan di seluruh dunia sejak zaman kuno – sebagai representasi visual keempat mata angin, yang merupakan suatu simbologi warna dan arti, selain sebagai oposisi-oposisi biner kematian, regenerasi, kebutuhan cinta dan belas kasih yang duniawi dan yang ilahiah, di samping penerimaan akan nasib. 11 Maka motif yang ditemukan di dinding-dalam suatu kompleks candi dari abad kesembilan ini masih terus berfungsi sebagai suatu tanda penting di Jawa sekarang. 12 Pengetahuan dari nenek moyang ini diwariskan dari abad ke abad, tetapi sifat visualnya menyebabkan maknanya dapat berubah-ubah seiring perjalanan waktu, meski tetap kuat. Nama Sita (“galur”) mengingatkan pada hubungannya dengan Ibu Pertiwi (Bunda Bumi) dan memang ke tanahlah Sita kembali – ini banyak miripnya dengan Sati, istri Siwa, yang juga jatuh ke bumi. Kisahan Ramayana dikenal baik oleh semua orang di Jawa – masih penting setelah sekian abad – dan penggunaan motif kawung yang kuno dan megah itu untuk tekstil ini teramat tepat untuk mengkonotasikan cerita yang pedih dan mencekam tentang pengurbanan perempuan.

Konsep kuno Jawa lainnya yang digunakan oleh tim kesenian ini ialah kolaborasi. Orang Jawa menyebut saling bantu atau kerjasama ini “gotong royong”. Menurut sudut pandang Amerika saya, ajaran ini cocok dengan kolaborasi artistik antara Nia dan Ismoyo dan kolaborasi mereka berikutnya dengan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Ini pelajaran penting lain yang dapat diserap para mahasiswa kami dan masyarakat dari satu tahun bermukimnya Nia dan Ismoyo di tengah- tengah kami. Dalam perspektif pascamodernis, hibriditas, kebinekaan, dan pluralisme adalah tolok ukur. Dan barang tentu, para seniman Indonesia yang telah bersusah-payah berkelana meninggalkan negerinya sudah menemukan bahwa mereka sudah akrab dengan gagasan-gagasan ini yang merupakan bagian semboyan bangsa, “Bhinnéka Tunggal Ika,” Ini memang masuk akal untuk sebuah bangsa yang terdiri atas tiga ratus lima puluh kelompok etnik dengan adat kebiasan dan bahasa masing-masing. 13 Lagi pula, bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang di masa silam dalam menyambut orang lain di bumi dan laut mereka. 14 Dan kebaharian kepulauan ini mengandung arti bahwa selama berabad-abad penduduknya sudah memiliki kebiasaan merantau untuk meraih kemajuan, dan mungkin kelimpahan, dalam hidup. Maka kolaborasi dengan liyan tampaknya merupakan ciri khas yang wajar pada bangsa-bangsa yang menyadari bahwa tradisi nenek moyang mereka acapkali bergantung pada saling bantu dan kerjasama maupun kiat berurusan dengan “orang asing.”

Ketika minat dan komitmen Nia pada studi batik cepat diterima oleh guru-guru Jawa-nya, ia segera mendapatkan dirinya bermitra dengan seniman Ismoyo. Ketika mereka berdua memadu-luluhkan upaya mereka untuk mengerjakan batik kolaboratif, terjadilah peleburan spontan antara Timur dan Barat derta Selatan dan Utara. Seperti dicatat T.S. Elliot, kolaborasi kreatif mengabaikan kepemilikan demi kebebasan pengambilalihan (apropriasi). 15 Ketakutan akan hilangnya penguasaan dan kegentaran akan tersumbatnya “suara” sendiri sangat dikenal dan dimaklumi dalam budaya Amerika. Saya tumbuh dewasa dengan kebanggaan menjadi seorang individu dan bersikap protekif terhadap “hak” kepemilikan saya. Namun para jenius seperti Elliot memandang proses kreatif sebagai sesuatu yang justru membutuhkan kolaborasi – melihat proses ini sebagai sesuatu yang timbal- balik (resiprokal) dan inspiratif. Ia menuliskan gagasan tentang penyuburan dan pengayaan dalam kerjasama dan percakapan, sebagai lawan dari “pergulatan kelu seorang manusia yang sendirian”. Elliot melihat kolaborasi sebagai solusi untuk masalah proses kreatif, dan tidak mengabaikan sumbangan dari yang tak dikenal dan tak kasatmata ketika ia menyebut seniman sebagai “medium” yang juga menyuarakan rasa, citra, dan inti batin. 16 Kiranya Nia dan Ismoyo menemu- kan bahwa memang benar demikian halnya, dan mereka tak hanya membuka diri sebagai mitra dan “medium” bagi daya-daya kreatif yang tak kasatmata, melainkan juga membuka diri bagi banyak orang lain dari berbagai tempat dan lingkungan.

Nia dan Ismoyo berkolaborasi dengan mitra sanggar mereka, Brahma Tirta Sari (BTS), maupun sejumlah kelompok seniman aboriginal dari Australia, anak-anak jalanan di Jawa Tengah, anak-anak pedesaan di Jawa, seniman-seniman Mali dan Nigeria di Afrika, dan sekarang ini – para mahasiswa Western Michigan University. Ketika mengamati karya-karya yang dihasilkan, orang tersentak melihat bagaimana berbagai suara artistik “bernyanyi” dengan harmonis. Dalam Ancient Stories, Mali (2005), sebutir telur besar mendominasi bidang tengah. Ini adalah tentang falsafah Jawa Tribawana, (tiga dunia: diri, semesta, dan sumber kreatif). Di sekeliling “wilayah berpagar” ini adalah abstraksi unsur-unsur yang menyerupai kaki, lengan, dan burung – mengungkapkan mitos asal-muasal suku Yoruba (Nigeria) – sementara unsur-unsur api dalam bentuk bebas (mengkonotasikan suatu aspek mistis dalam metalurgi Jawa) tampak menjilat-jilat dengan gawatnya dari pinggir kiri. Kehangatan warna-warna pada karya ini tampaknya mengungkapkan pengalaman tropis akan gurun dan hutan dan barangkali inti kreasi yang berakar dalam semua masyarakat yang dikenal dengan begitu akrab oleh seniman-seniman Jawa maupun Afrika. Pada karya tahun 2005 berjudul Menggapai Langit, suatu karya kolaborasi dengan remaja-remaja dari desa terpencil di Gunung Lawu, lapisan-lapisan motif “rusak” menuntun mata sepanjang garis vertikal dan menggabungkan warna matahari yang hangat, langit jernih, dan gunung yang kokoh serta pepohonan hijau di tempat indah tempat remaja-remaja itu tinggal. Agaknya yang diungkapkan karya ini adalah kedambaan sekaligus kepuasan menerima nasib peruntungan karena unsur-unsur vertikal dan horisontal menciptakan harmoni dan bukannya kesumbangan, ketidak- larasan. ‘Tanda tangan artistik’ para tamu kelihatan jauh lebih mencolok ketimbang tanda tangan Nia dan Ismoyo (ISNIA)... … tetapi orkestrasi mereka selalu terasa, demikian pula pandangan mereka yang tajam dan awas dalam mencari keseimbangan dan asimilasi. Ini prestasi luar biasa dan tinggi nilainya bagi para seniman yang sedang bertunas di sini, di AS. Sejumlah mahasiswa batik dari WMU akan bekerja dalam kolaborasi dengan ISNIA serta sanggar BTS untuk menciptakan satu karya atau lebih bagi pameran-pameran mendatang. Belajar menemukan suara inti mereka sendiri dan kemudian memadukannya ke dalam kor visual batik-batik ini pastilah memberikan pelajaran sangat berharga yang akan membantu mereka di masa depan ... dan telah mempersentuhkan mereka untuk selamanya dengan jagad seni yang lebih luas.

Kalamazoo, Michigan dan Yogyakarta, Jawa, Indonesia, secara fisik dipisahkan jarak 9.942,51 mil (16.001,46 km). Orang dapat menempuh perjalanan antara kedua komunitas seni yang ramah dan bersahabat ini dalam waktu kurang dari 30 jam. Budaya kuno Jawa memang jauh lebih berjarak dengan kehidupan kontemporer di Kalamazoo, namun melalui pertukaran budaya yang dimungkinkan oleh program residensi seniman ini tahulah kami bahwa pusaka dunia kita bisa diakses – dan untuk ini kami ucapkan terima kasih.

Mary-Louise Totton
Asisten Guru Besar
Pimpinan the Arts in Java Program
Frostic School of Art
Western Michigan University
Kalamazoo, Michigan, USA

Mary-Louise Totton memiliki gelar Ph.D. sejarah seni rupa dari The University of Michigan dengan titik berat pada seni rupa Asia Tenggara. Ia telah menulis naskah mengenai tapis Lampung yang akan terbit tahun depan. Proyeknya yang berikut adalah sebuah buku tentang seni rupa, spiritualitas dan ilmu jejaring yang ditemukan di candi Loro Jonggrang dari abad kesembilan (Prambanan, Java).

1 Apa yang disebut manusia Jawa (salah satu Homo erectus paling awal), berasal dari masa 700.000 tahun yang lampau, ditemukan di bagian tengah pulau ini.

2 Lihat Jan Wisseman Christie, “Texts and Textiles in ‘Medieveal’ Java,” Bulletin de L’Ecole Française d’Extréme-Orient, vol. 80, no. 1 (1993) yang menafsir piagam-piagam Jawa masa kuno ini dan tesis Aswoto, “Peranan Pakaian Pada Masa Jawa Kuno: Tinjauan Berdasarkan Prasasti Abad IX-XI Masehi,” (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta:1994) yang mengidentifikasi semua representasi awal kain berpola dari petunjuk yang ditemukan pada patung di Jawa.

3 Ini kutipan dari disertasi saya, “Weaving Flesh and Blood into Sacred Architecture: Ornamental Stories of Candi Loro Jonggrang,” (The University of Michigan, Ann Arbor: 2002), 275. Kajian kesejarahan tentang seni tekstil Indonesia terlalu banyak jumlahnya untuk bisa disebutkan. Periksa tulisan Mattiebelle Gittinger untuk memulai kajian semacam.

4 Maka muncul karya seni batik Nia dan Ismoyo yang diberi judul yang sangat mengena “Trashcan of Tradition”/”Tong Sampah Tradisi” yang dipamerkan di pameran fakultas Frostic School of Art (18 Oktober - 9 November 2007) di Richmond Center for the Visual Arts.

5 Banyak dari karya mereka diberi tanda BTS, Brahma Tirta Sari, nama sanggar batik yang didirikan tahun 1985 di Yogyakarta.

6 Di Jawa nama mereka Romo dan Sinto.

7 Christie, (1993), 20. Tumbuhan ini adalah tumbuhan asli di kawasan ini dan menghasilkan buah pinang. Di Jawa pernah dikenal upacara lucu saling lempar pinang antara sepasang mempelai, yang dari situ akan diketahui siapa dari keduanya yang nanti akan dominan dalam kehidupan berumahtangga. Roy Jordaan dan Anke Niehof menguraikan dengan rinci pentingnya buah pinang dalam ritual perkawinan dalam esai mereka, “Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia,” David S. Moyer dan Henri J. M. Claessen, penyunting, Time Past, Time Present, Time Future: Essays in Honour of P.E. de Josselin de Jong, (Dordrecht, Foris: 1988), 168-177. Konon pengaruh mengunyah buah pinang, yang merupakan semacam narkotika ringan, adalah membuat relaks pasangan suami-istri sehingga dapat membantu mereka dalam bersanggama. Dengan demikian motif ini mengingatkan pada perkawinan dan kesuburan dalam konteks ini.

8 Tentang yoni-pitha, periksa Alit Veldhuisen-Djajasoebrata, Weavings of Power and Might: the Glory of Java, Museum voor Volkenkunde, (Rotterdam: 1988), 15-16.

9 Seturut Wendell Charles Beane, kisah bunuh diri Sati dan fenomenologi yang dihasilkannya yang berupa tempat-tempat persemayaman dewi tersebut merupakan valorisasi religius baru atas perempuan dalam pustaka Tantri-Purana yang di tambahkan pada awal zaman pertengahan di India [semasa dengan abad kedelapan dan kesembilan di Jawa]. Periksa Beane, Myth, Cult, and Symbols in Sakta Hinduism, Brill, (Leiden: 1977), 200-203. Periksa pula, Robert Wessing, “Wearing the Cosmos: Symbolism in Batik Design,” Crossroads: An Interdisciiplinary Journal of Southeast Asian Studies, vol. 2, no. 3, Northern Illinois University, (DeKalb, IL: 1986), 57.

10 Bagian ini saya cuplik-dengan banyak perubahan dalam perumusannya- dari disertasi saya, (University of Michigan: 2002), 287-290.

11 Nia dan Ismoyo serta para pengkaji yang telah memantau kerja mereka selama berpuluh tahun (seperti Dr. Astri Wright) sudah membahas makna yang berlapis-lapis ini secara panjang-lebar. (Komunikasi pribadi: 2007)

12 Dua relief yang berhadapan, yang tingginya sekitar tiga meter, menggambarkan tekstil dengan pola kawung di ruang depan candi Siwa, garbhagriha (ruang rahim) -- pusat atau inti paling dalam dari kompleks Candi Loro Jonggrang.

13 Maka kebanyakan orang berbicara menggunakan sekurang-kurangnya dua bahasa - bahasa lokal dan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia.

14 Tentunya disambut dengan kurang menyenangkan bila beberapa dari orang asing itu lalu punya ambisi kolonialis. (Belanda menguasai kepulauan ini selama 350 tahun dan Portugis, Jepang serta Inggris juga menguasai sebagian teritori ini untuk beberapa lama.)

15 Richard Badenhausen, T.S. Elliot and the Art of Collaboration, Cambridge University Press, (Cambridge, UK: 2004), 218.

16 Badenhausen, 2004, 43,48, 62, dan tempat-tempat lain.

 


 


 

Javanese ladies dyeing batik
19th century, ® KITLV, University of Leiden, NL 1985

WMU students remove wax from their artworks, Fall 2007 class with Ismoyo and Nia
(left Vanessa Marlink, right Caitlin Conway)
photo (ml totton)

Seven Sisters I, 2006, (detail)

Api Biru / Blue Fire, 2004 (detail)

Walka-walka II, 2006 (detail)

Rama Kehilangan Betara Asih I / Rama Has Lost His True Love I, 1998 (detail)

Kebun Binatang Sakral / The Sacred Zoo, 2007 (detail)

Cerita Kreasi, The Creation Story 2005

Bapak Langit Ibu Bumi / Father Sky Mother Earth, 2005 (detail)

Api / Fire, 2001 (detail)


n